oleh : Ahmad Fikri, Trainer Makmal Pendidikan

Ada sebuah hal menarik dalam dunia pendidikan kita. Dengan diberlakukannya kurikulum berbasis kompetensi banyak hal baru yang harus diamati oleh para guru. Kurikulum baru ini,intinya memuat seperangkat target pencapaian yang harus dimiliki setiap anak sesuai dengan jenjang/kelasnya. Targetan tersebut lebih di kenal dengan istilah standar kompetensi (SK). Standar kompetensi ini kemudian diurai kembali menjadi target-target minimal dalam bentuk kompetensi dasar (KD). SK dan KD inilah yang membedakan kurikulum sebelumnya dengan kurikulum terbaru (2006) yang sebelumnya diuji cobakan pada tahun 2004 yang lalu.

Perbedaan mendasar ini, kemudian memicu kita para guru untuk melakukan penilaian yang mengacu pada kriteria yang telah ditetapkan oleh kurikulum melalui SK dan KD tadi. Sebelumnya para guru lebih sering menggunakan penilaian acuan norma (PAN). Di mana penilaian didasarkan pada keberadaan siswa di dalam kelas, siswa A dibanding-bandingkan dengan siswa B dan rata-rata kelas. Contoh, si A mendapat nilai 8 sementara si B mendapat nilai 9, maka dengan serta merta si A dianggap tidak lebih pintar daripada si B. contoh lain, si C mendapat nilai 5 sementara teman-temannya yang lain mendapatkan nilai di bawahnya. Biasanya si C dianggap yang paling pintar dibandingkan dengan teman-temannya.

Sementara dalam penilaian acuan kriteria, setiap anak hanya dapat dibandingkan dengan SK atau KD. Jika dalam KD menyatakan bahwa seorang siswa harus mampu menuliskan sebuah kalimat dengan menggunakan huruf besar dan tanda baca, maka siapun yang telah mampu memenuhi kriteria tersebut dinyatakan kompeten atau lulus mencapai KD yang dimaksud, tanpa harus membanding-bandingkan bagus-tidaknya tulisan tiap-tiap anak.

Pengalaman Dalam Pelatihan

Telah banyak penjelasan seputar PAN dan PAK dan pada tulisan kali ini kami ingin sharing berdasarkan pengalaman dalam beberapa kesempatan pelatihan yang diselenggarakan oleh Makmal Pendidikan, ternyata tak memudah untuk “menggiring” para guru beralih dari model penilaian acuan norma menjadi penilaian acuan kriteria. Dalam pelatihan tersebut kami sodorkan sebuah hasil mengarang siswa A kelas 1 yang menurut ukuran umum cukup bagus, kemudian kami minta para guru memberikan nilai. Setelah itu kami sodorkan kembali hasil mengarang siswa B yang -masih- menurut ukuran umum sangat bagus,selanjutnya para gurupun memberikan nilai kembali.

Kamipun melakukan survey, berapa nilai rata-rata yang diberikan untuk siswa A dan berapa untuk siswa B.hasilsurvey menyatakan bahwa para guru terbagi dalam 3 kelompok nilai. Kelompok pertam memberikan nilai yang “jomplang”. Nilai A sangat rendah sementara B sangat tinggi. kelompok ke dua, relatif sama dalam memberikan nilai kepada A dan B, 6 dan 8 atau7.5 dan 9,sementara kelompok ke tiga, memberikan nilai yang sama tinggi, 9 dan 9, bahkan ada yang 10 dan 10.

Alasan kelompok pertama bahwa, “sekilas” nampak gambar dan tulisan siswa B jauh lebih baik dibandingkan siswa A. Alasan kelompok kedua, menyatakan bahwa, mengingat siswa A dan B baru kelas satu dan secara umum karangan keduanya terlihat baik maka wajar kalau kelompok ini memberikan nilai relatif sama bagi ke duanya. Kelompok terakhir menyatakan bahwa ketika memberikan nilai pada siswa A, mereka merasa sangat layak menulis angka 9 atau 10,namun ketika disodorkan hasilkarangan siswa B yang ternyata lebih baik dari siswa A, namun tak ada pilihan lain kecuali memberikan nilai sempurna,kesimpulan mereka siswa A dan B sama-sama sangat baik di bandingkan siswa kelas satu kebanyakan.

Dari beberapa alasan di atas, nampak jelas bahwa ketiga kelompok tersebut memiliki kesamaan dalam memberikan nilai pada siswa A da B, yaitu masih menggunakan acuan norma.

Acuan norma ini lebih bersifat relatif,sehingga dapat mengakibatkan guru A punya cara pandang yang berbeda dengan guru B dalam memberikan nilai. yang juga dapat berakibat pada “dugaan” pilih kasih. bagi para orang tua siswa-pun hal semacam ini dapat meresahkan. guru A dapat dianggap lebih “murah” nilai dibanding guru B yang “pelit”

Setelah mereka memahami kenapa hal tersebut bisa terjadi, mereka mulai dapat menerima, bahwa sangat penting untuk menggunakan sebuah acuan kriteria yang disederhanakan dalam sebuah rubrik atau instrumen penilaian. Agar tidak terjebak pada hal-hal yang menjurus pada “main tebak-tebakan” berdasarkan asumsi-asumsi yang tak mendasar.

Dengan menggunakan kriteria penilaian yang standar, maka siapapun gurunya akan memiliki cara pandang yang sama dalam memberikan nilai. Agar terjadi kesepahaman antar guru,sebaiknya kriteria dalam bentuk rubrik-rukrik atau instrumen penilaian dihasilkan dari diskusi antar guru.

Selamat menilai!