oleh : Ahmad Fikri, Trainer Makmal Pendidikan
Dalam sebuah studium general di kampus calon guru seorang nara sumber pernah menyampaikan data bahwa hanya 23 % lulusan kampus di bilangan Rawamangun itu yang kemudian berprofesi menjadi guru. Jadi apa, sisanya ? sebagai salah seorang almamater dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) tersebut saya sendiri cukup penasaran dengan data tersebut.
Yang saya ingat ketika di kampus dulu, saya beberapa kali bertanya ke pada teman-teman, apakah mereka berencana menjadi guru kelak ? 4 dari 10 menjawab ya. Sisanya beragam, ada yang berencana menjadi wartawan foto, membuka usaha kuliner, mendirikan percetakan, menjadi konsultan, bisnis ini dan itu. Seolah mengamini data pada studium general tersebut.
Setelah lulus dari kampus IKIP Jakarta tercinta, sayapun segera mengejar peluang mengisi posisi guru diberbagai sekolah swasta maupun negeri, baik nasional maupun nasional plus (internasional). Terasa tanpa hambatan, sayapun diterima disebuah sekolah nasional plus yang berlabelkan Montessory School di daerah Jakarta Selatan. Menyenangkan sekali rasanya menjadi guru. Dapat mengaplikasikan ilmu dan membantu orang lain meraih ilmu. Dapat penghasilan sekaligus beramal.
Kuhubungi beberapa teman seangkatan. “Mengajar di mana sekarang ?” sebuah pertanyaan yang saya lontarkan setiap kali berkomunikasi dengan mereka. Lagi-lagi hanya 30 % an dari mereka yang menjawab,”Saya jadi guru di… .” selebihnya menjawab bahwa mereka sedang mengerjakan sebuah proyek, sedang bisnis pertanian di daerah anu atau belum dapat pekerjaan.
Tahun 2005 setelah 3 tahun lulus dari kampus yang kini berlabel UNJ itu. Saya masih penasaran dengan rekan-rekan se almamater. Pada saat itu saya telah bergabung dengan komunitas Sekolah Islam Terpadu. Beberapa teman, saya dapati telah meraih cita-citanya dulu. Menjadi wartawan, berwiraswasta, menjadi pegawai kantoran, dan sebagainya. Pada saat yang bersamaan, saya bertemu dengan banyak teman kampus, yang kini mengajar di sekolah-sekolah Islam Terpadu. Hitungannya kini, lebih banyak teman saya yang telah menjadi guru.
Suatu ketika seorang ayah dari murid saya berkesempatan ngobrol di sela-sela sebuah kegiatan di sekolah. Beliau menyatakan bahwa dirinya adalah satu almamater dengan saya, beda angkatan saja. Angkatan tua katanya. Masih cerita beliau, bahwa dulu ia ingin sekali menjadi guru. Pasalnya ia mendapat informasi bahwa seorang guru mendapat penghasilan Rp 7.500 per jamnya saat itu. Iapun kemudian mengkalkulasi, berapa rupiah yang akan ia terima dalam sebulannya. Jika dalam satu pekan dapat mengajar sebanyak minimal 12 jam. Dengan asumsi 2 jam dalam sehari, dikali 6 hari dalam seminggu, dikali 4 minggu dalam sebulan, maka dia akan meraih 2 jam X 6 hari X 4 pekan x Rp 7.500 = Rp 360.000. Sebuah nominal yang lumayan menurutnya pada saat itu. Selepas kuliah, iapun melamar ke sebuah sekolah dan kemudian diterima menjadi seorang guru. Dalam kontrak kerjanya ia mendapatkan nilai nominal per jam mengajar tak jauh dari perkiraannya semula, Rp 7.000. cukuplah bagi seorang pemula gumamnya. Ketika sebulan telah berlalu, tiba saatnya ia menerima honor. Betapa kagetnya karena ia hanya membawa pulang seperempat nilai yang telah ia perkirakan. Singkat kata iapun mengklarifikasi ke beberapa rekan guru. Ternyata iapun semakin kaget, karena para guru menyatakan bahwa memang demikian perhitungan yang sesungguhnya. Iapun menggerutu dalam hati, “Kalau begitu mengajar sebulan, di bayar satu minggu dong !”. walhasil iapun banting setir, yang kemudian kini menjadi pengusaha automotive. “Singkatnya banyak orang enggan menjadi guru lantaran income yang kurang dari cukup, terlebih lagi dengan gambaran pekerjaan yang terbilang cukup merepotkan, terutama menjadi guru SD”, pungkasnya.
Saya menarik nafas panjang mendengarkan ceritanya. Tak pernah sedikitpun, kemudian terbetik berhenti menjadi guru. Saya sendiri tak bisa menjelaskan dengan pasti, mengapa hingga detik ini masih bertahan menjadi guru. Dari beberapa diskusi dengan teman-teman, mereka sudah menganggap final tentang profesi guru. ”Gak bisa bikin kaya !”. Untuk itu jangan berharap menjadi orang kaya dengan menjadi guru. Memang ada yang tidak setuju dengan pendapat ini. Alasannya, banyak guru yang sukses dan kemudian menjadi kaya. Menurut saya mereka yang kemudian menjadi kaya, lantaran melakukan aktivitas lain di luar core bussinessnya menjadi guru di sebuah sekolah, seperti terlibat dalam aktivitas MLM, bisnis pada sektor riil atau yang masih berkaitan dengan pendidikan seperti membuka lembaga kursus, memberikan les privat, mencetak modul, alat belajar atau peraga dan sebagainya. Dengan kata lain kekayaan materi tersebut diraih diluar profesi utamanya menjadi guru. Saat berdiskusi tentang hal ini, seorang kawan lain ada yang rada sinis berseloroh,”Ada juga loh yang dapat kelebihan materi dari – belas kasih – orang tua siswa ?!”. Ya, meskipun faktanya ada, tetapi sangat jarang dan cenderung kasuistik, yang biasanya merupakan ungkapan bahagia secara berlebihan dari orang tua murid yang merasa terpuaskan.
Menjadi fasilitator training dan workshop para guru adalah keseharian saya kini, tetapi menjadi guru di sebuah sekolah tetap saja saya jalani. Salah satu yang membuat saya semakin yakin adalah testimony para guru yang kujumpai di berbagai daerah. Mereka menyatakan bahwa ada sebuah ”keberkahan” dan ”keselarasan” dari kehidupan mereka sehari-hari. Meskipun tak jarang, mereka mengawali profesi sebagai guru atas sebuah keterpaksaan. Terpaksa karena tak ada lagi pekerjaaan, terpaksa karena tak ada lagi orang lain yang mau menjadi guru di daerahnya, terpaksa karena ia gregetan melihat kondisi pendidikan yang ada, terpaksa karena kurangnya perhatian pemerintah pada sekolah-sekolah di lingkungannya, terpaksa karena lulusan LPTK banyak yang enggan menjadi guru dan banyak lagi hal-hal yang memaksa mereka untuk menjadi guru. Namun demikian, ketika mereka menjalaninya dengan penuh kesadaran sekaligus kesabaran. Keikhlasan sekaligus kecerdasan. Entah mengapa, mereka merasakan ada kebahagiaan yang tak terkira, terlebih lagi manakala satu di antara sekian banyak muridnya meraih prestasi, manakala salah seorang alumni sekolah mengucapkan terimakasih setulus hati, manakala tersiar kabar, salah satu mantan muridnya menjadi “orang besar”, manakala ada penghargaan masyarakat atas statusnya sebagai guru, hingga ketika anak-anak merekapun dapat meraih gelar sarjana bahkan doktor dari hasil keringat seorang guru.
Menurut saya, terpaksa atau sukarela bukanlah indikasi seseorang menjadi guru yang baik, namun kerja nyata dan usaha terencana dalam keseharian di kelaslah yang menjadi ukurannya. Kepada Bapak dan Ibu Guru, terpaksa atau dipaksa, engkau tetaplah seorang guru di mata murid-muridmu. Mereka kini bertebaran di seluruh Nusantara berkat nasehat, perhatian, sentuhan, kasih sayang, omelan bahkan hukumanmu dulu. Meski masih banyak yang mencerca profesimu, tetapi kebanyakan dari mereka masih ingin menghargaimu. Mungkin engkaulah orang yang memahami betul sebuah ungkapan patriotis,”Jangan kau tanya apa yang negara bisa berikan kepadamu, tanyakanlah apa yang bisa kau berikan kepada negaramu.” Terima kasih guruku, engkau telah banyak memberi bagi negeri ini, meski ia masih ragu-ragu menghargaimu.
Guruku, Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku tuk pengabdianmu
Selamat Hari Guru
November 22, 2007 at 1:31 am
Wahai guruku, mari kita belajar kepada M. Yunus, Penggagas Grameen Bank, Penebar Energi Positif bagi orang-orang miskin untuk meraih impian hidup mereka. Dianggap orang ‘gila’ dan diacuhkan tidak menyurutkan semangatnya untuk menebar EPOS bagi kebermanfaatan umat. Hasilnya, seluruh perjuangan dan kerja kerasnya menebar EPOS mengantarnya mendapatkan Nobel dan pengakuan dari dunia internasional.
Teruslah menebar EPOS, kebaikan akan mendapatkan balasan walau seberat dzarrah, begitu pun dengan keburukan yang kita lakukan. Berjuang terus atau mundur dari profesi guru, silahkan memilih, karena Anda memiliki pilihan hidup seperti itu
November 22, 2007 at 9:13 am
kalau ukurannya nilai(materi),bisa jadi guru SD memang tidak memuaskan secara finansial,tetapi kalau ukurannya nilai-nilai (value),maka guru SD-lah kalau boleh saya berpendapat, yang paling tidak ternilai jasanya,jikalau guru tersebut menanamkan nilai-nilai kebaikan,membentuk dan memberi warna pada kehidupan anak, sehingga bertumbuhkembang dengan baik,dan menjadi investasi bagi masa depan yang membanggakan. Seandainya saya punya kesempatan kembali menjadi guru,maka saya ingin menjadi guru SD,profesi yang paling menentukan kultur bangsa ini…
Desember 17, 2009 at 3:56 am
Jadi Guru SD, Siapa Takut?
Februari 21, 2008 at 1:33 am
salam kenal aja
Desember 17, 2009 at 3:57 am
Salam Kenal Mas Taufik
Maret 5, 2008 at 7:25 am
kunjungi blog saya di taufik79.wordpress.com ya
Maret 28, 2008 at 3:39 pm
Percaya gak percaya, saya adalah orang yang sejak SD sudah punya cita2 ingin jadi guru. Ada banyak orang yang terpaksa jadi guru, tapi ada banyak orang yang memang bercita-cita jadi guru. Yang jelas guru adalah sebuah pekerjaan yang mulia.
April 8, 2008 at 9:02 am
Saya juga sejak kelas 5 sudah bercita-cita jadi guru SD. Dulu sih lihat Ibu Ari guru SD yang ngajar dengan sabar dan menarik. Pas SMP diberi pilihan mau masuk SMEA, SMA, atau SPG yang sekarang sudah bubaran. Pilihannya ke SPG jelas, dan terus mengajar setelah itu sampai sekarang.
Sekarang justru saya melihat menjadi GURU adalah keterpaksaan. DARIPADA NGANGGUR, mending jadi guru. Lihat aja. Lulusan ITB, UNPAR, UNPAD jadi guru SD atau jadi guru TK. Karena apa? Karena mereka tidak menemukan lapangan kerja yang sesuai dengan pendidikan mereka.
Mei 20, 2008 at 3:59 pm
itulah… wong guru itu panggilan nurani kok. kalo panggilan duit, nanti kasihan muridnya. sebab gurunya ngajar tidak dengan nurani, malah dengan kalkulator. kayak juragan sembako. ayo… luruskan niat. selamat bekerja!
Mei 21, 2008 at 3:41 pm
BANYAK TEMAN KULIAH DI FKIP YANG GAK BAKAT NGAJAR, MEREKA MASUK FKIP KARENA DENGAR GAJI GURU DINAIKKAN GUS DUR DULU, SEKARANG TEMAN2 KU TU DAH JADI GURU YAA KAYA GITU JADINYA, JADI PNS KAGAK, NGAJAR MURID DENGAN BAIK KAGAK… PAYAH
Mei 22, 2008 at 2:22 pm
saya seorang guru,………………………..dahulu tk pernah bercita cita jadi guru,………….sekarang saya bertekad jadi guru yang baik, karena esensi hidup lebih mulia dibandingkan dengan professi apapun di dunia.
Mei 29, 2008 at 9:18 am
selamat menjadi guru yang selalu mempunyai jasa membangun karakter para pembelajar
Juli 1, 2008 at 2:41 am
yah kira-kira begitulah,baca deh posting aku. aku nyeritain versi mahasiswa pendidikan.
November 27, 2008 at 6:18 pm
Selamat Hari Guru!!! ea copy gambar diatas ya? terima kasih ^_^v
To all teacher in this world…
“Selamat Hari Guru”
Maret 27, 2009 at 5:16 am
aku juga lagi usaha biar jadi guru SD do’ain ya semua….
doain aku biar diterima di PGSD UNNES.. jalur SPMU-B tahun 2009 ini.. amiin…
November 26, 2009 at 2:34 pm
awalnya saya tidak ingin menjadi guru karena menyadari tanggungjawab dunia akhirat yang harus diembannya. Namun melihat kenyataan banyak guru yang tidak disukai siswa khususnya pada bidang studi yang terkenal susah dan tidak favorit d kalangan siswa, sy tertantang untuk mencoba.Pertama berdiri d depan kelas yang saya lakukan hy transfer ilmu. Kemudian sy sadar hal itu justru yang membuat mereka ‘BT’ dengan saya dan bidang studinya. Sampai sy temukan jawabannya, “mengajar dengan hati”. Hingga hari ini ….. dari angket yang d tulis siswa mereka bilang, “Ibu menegangkan tapi mengasikkan”.Ada juga yang mengatakan sy semangat belajar jika Ibu ada. Mau tau rasanya ketika mengalami hal tersebut ? Dahsyat Man !
November 24, 2011 at 1:16 am
Tulisan bagus pak Fikri, masih ingat saya kan.. satu almamate dulu,.. alhamdulilah sy masih tetap jadi Guru, menjad trainer.. knsultan jalan terus, walau terkadang keinginan beralih profesi selalu menghinggapi pikiran saya, Selamat Hari Guru Semoga SUKSES, AMiin…
Desember 14, 2011 at 5:13 am
jadi guru janganlah dijadikan sebagai beban tetapi cinatailah dan jalankan dengan rasa tawadhu bahawa menjadi guru adalah jalan kesejahteraan dunia dan akhirat.
November 23, 2019 at 3:19 am
Seseorang kepengin menjadi guru, ada yang harus dipaksa. Di awal boleh dipaksa, tapi setelah menjadi guru beneran, jangan merasa dipaksa, ternyata enak, aman dan nyaman. Nikmati saja profesi guru! Guru adalah profesi mulia. Kata sebagian orang, guru itu orang paling dikenang sepanjang masa, sudah mati pun masih dikenal.