Oleh : Ahmad Fikri, Trainer Makmal Pendidikan

Membaca dari berbagai komentar di beberapa blog pendidikan termasuk di blog ini serta dialog dengan beberapa rekan guru dari berbagai daerah, menyatakan bahwa telah terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan sertifkasi guru. Tak kurang Koordinator Education Watch pun unjuk bicara mengamini fenomena tersebut (Koran Tempo, 27/09/07). Satya Sandhatrisa Gunatmika dalam tulisannya pada harian tersebut menyatakan bahwa telah terjadinya praktek kecurangan kolektif yang dilakukan oleh para guru. Selain itu, banyak kasus kolusi dalam penentuan guru yang akan mengikuti ujian seleksi sertifikasi. Dinyatakan pula beberapa “permakluman” atas tindak kecurangan tersebut diakibatkan oleh keinginan yang kuat dari para guru untuk lulus dalam ujian sertifikasi lantaran syarat pengumpulan poin penilaian sangat berat dan tidak mungkin dicapai oleh para guru senior yang sibuk dengan urusan rumah tangga dan kegiatan belajar-mengajar.

Sesungguhnya, guru dalam hal ini hanyalah objek atau komoditas politik pemerintah. Seringkali diposisikan menjadi “terdakwa” manakala terjadi penyimpangan dalam proses pendidikan di negeri ini. Mereka selayaknya hanya diperlakukan sebagai “alat” saja. Sedikit sekali perhatian pemerintah dalam bentuk yang integral untuk menghargai guru. Padahal mereka adalah subyek dalam peningkatan kualitas SDM bangsa ini. Lihat saja para guru yang dikaruniai predikat PNS. Mereka cenderung jadi bulan-bulanan pemerintah melalui para pejabat Diknas di daerah-daerah untuk mengedepankan ketaatan dibandingkan kreatifitas. Laksanakan amanat pimpinan, demikian yang sering kali menjadi kalimat pamungkas untuk mempercepat setiap proses “politik” pendidikan. Inilah yang mengakibatkan para guru lebih senang mempercepat segala sesuatu yang bersifat top down dari para pimpinan. Menciptakan budaya semacam inilah yang menjadi kesalahan pertama dari pemerintah.

Budaya menggunakan (baca : memperlakukan guru sebagai. pen) alat yang seringkali dipaksakan itu juga berimplikasi pada kesalahan pemerintah berikutnya, yaitu kelalaian dalam me-maintaine para generasi Umar Bakrie ini. Kegiatan-kegiatan training, penataran, workshop, dan apapun istilah lainnya sangat minim sekali. Sudah menjadi rahasia para guru, bahwa yang dapat menikmati suguhan upgrading tersebut hanyalah segelintir dari mereka. Diutamakan yang dapat bekerjasama dengan pimpinan atau dianggap berprestasi “di mata” atasan. Sudah dapat ditebak, yang dapat mengikuti sertifikasi dengan baik dan benar juga akan menjadi sedikit saja. Sementara kuota yang demikian besar membuat, lagi-lagi, menyediakan celah penyimpangan. Terjadilah pemalsuan sertifikat, berkas-berkas terkait, data-data dan sebagainya.

Kesalahan ke dua juga dikuatkan oleh proses upgrading yang sering tidak tepat tujuan. alih-alih meningkatkan empat kompetensi guru sebagaimana amanat Undang-undang Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005 Pasal 10 tentang kompetensi guru dan pasal 32 tentang pembinaan dan pengembangan, maka yang terjadi adalah lebih banyak menguatkan kompetensi profesional yang lebih bersifat managerial kelas dan administratif. Kompetensi lain yang meliputi paedagogis, kepribadian dan sosial nyaris diabaikan. Pengembangan kompetensi tersebut hanya dilakukan dalam bentuk himbauan atau ceramah saja. Inilah kesalahan ke tiga dari pemerintah. Dari situasi ini nampak jelas, bahwa pemerintah belum sepenuhnya – kalau tak dibilang belum sama sekali – menyiapkan karakter guru berkualitas sebagaimana mestinya. Ujug-ujug sertifikasi dengan pendekatan penilaian portofolio. Character building belum terbentuk, kesalehan belum diwujudkan namun pemerintah sudah mengiming-iming para guru dengan tunjangan profesi pendidik sebesar satu kali gaji pokok sebagaimana tertera pada Peraturan Menteri No 18 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi Bagi Guru pasal 6. Terjadilah kecurangan, kebohongan sekaligus pembodohan.

Menurut hemat kami, ini adalah bentuk lain terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Dengan beban kerja yang sudah cukup lama dan berat, para guru juga harus melalui serangkaian proses yang secara tidak sadar cukup menyakitkan bahkan cenderung melecehkan harkat dan martabatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup atau “program kesejahteraan guru”. Mungkin saja perilaku di atas hanya terjadi pada daerah atau orang perorangan, namun faktanya hal tersebut telah terendus oleh intern kalangan guru dan khalayak luas. Menjadi maklum karenanya manakala terjadi “friksi” antar guru dan (menimbulkan) pandangan negatif bagi profesi guru.

Selayaknya pemerintah memperhatikan dan berhati-hati terhadap fakta-fakta efek negatif yang terjadi akibat kebijakan sertifikasi guru yang belum dipersiapkan secara matang tersebut. Sebagai manusia melakukan kesalahan adalah satu hal yang wajar, namun sebagai penguasa, melakukan kesalahan sekecil apapun adalah hal yang dzalim. Wallahu’alam.